SEMBURAT MERAH JINGGA
Semburat merah jingga di ufuk timur memancar dahsyat lewat pancaran sinar matahari pagi. Berjalan tergesa-gesa menelusuri jalan setapak pinggir kebun dan tepian sungai. Jalan setapak ini menjadi saksi perjalanan dinasku menjadi abdi Negara selama 14 tahun. Waktu yang cukup lama untuk sebuah pengabdian. Guru itulah profesiku, mengabdi dengan mendidik siswa di pelosok desa. Aku satu-satunya guru yang tempat tinggalnya paling jauh dari sekolah. Perjalananku menuju sekolah membutuhkan waktu lebih kurang satu jam perjalanan. Aku yang tidak bisa mengendarai motor harus rela naik bemo dari rumah menuju sekolah kemudian berjalan kaki menelusuri jalan setapak ini karena bangunan sekolah yang jauh dari jalan raya. Aku harus segera sampai di sekolah meski bulir-bulir keringat mulai menetes di balik seragam dinasku tetap saja kupacu langkah kakiku agar cepat sampai di sekolah. Tepat jam 07.15 aku sudah sampai di halama sekolah. Berjalan di teras sekolah menuju ruang guru di sana sudah berkumpul beberapa guru, kami saling menyapa dan bersalaman sambil berbincang-bincang dengan hangat.
Masih kuingat saat pertama bertugas di sini guru dan pegawai masih sedikit karena siswanya juga masih sedikit. Guru yang PNS hanya aku dan temanku ditambah dengan kepala sekolah jadi sisanya guru suka rela. Bangunan sekolah yang jauh dari rumah penduduk dan naik perbukitan membuat suasana terasa sejuk. Pemandangan di sekitar lingkungan sekolah tampak asri karena dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Sebelah kiri dan kanan sekolah tampak kebun-kebun penduduk serta gunung nan jauh di atas sana masih terlihat hijau. Menambah hawa sejuk sekolahku.
Namun sayang jalan setapak yang harus kami lewati
masih sempit dan becek sedangkan sungai di depan sekolah belum ada jembatan.
Kami harus berjalan kaki lebih kurang
500 meter dari jalan raya untuk sampai ke sekolah, terkadang kami sampai di
sekolah sudah ngos-ngosan dengan kaki yang pegal dan lecet akibat tersandung
kerikil di jalan. Belum lagi harus menyeberangi sungai dengan melompat melewati
batu yang besar sebagai pijakan agar rok kami tidak basah oleh air sungai.
Ketika musim hujan itulah perjuangan terberat bagi kami. Berjalan di jalan
becek dan lumpur serta harus menyeberangi sungai dengan derasnya arus sungai
membuat spot jantung kami meningkat.
Seperti hari ini langit mendung menyelimuti pegunungan di depan
sekolahku. Rintik-rintik perlahan menyapa. Sambil menyelesaikan jam pelajaran
terakhir dalam hati aku terus saja berdoa agar tidak turun hujan.
“Bu Syifa, bagaimana nih, sepertinya akan hujan,”
suara Bu Yuni menghampiriku.
“Iya, sepertinya terlambat pulang lagi kalau kita
terjebak hujan,” sahutku membalas.
“Bagaimana nih, mudah-mudahan hanya gerimis agar kita bisa turun,” katanya penuh harap
“Iya, yang penting kita sudah turun ke kampung
biarpun hujan di bawah sana,” kataku
Dalam keadaan waswas kulirik jam tangan sudah
menunjukkan jam 11.45 artinya tinggal 10 menit bel pulang akan berbunyi.
“Ayo aku kembali ke kelasku dulu,” pamit Bu Yuni
“Iya, Aku juga harus kumpulkan tugas siswa karena
sebentar lagi bel pulang,” jawabku
Akhirnya kami kembali ke kelas masing-masing. Belum
lama berselang bel pulang berbunyi. Siswaku berebutan keluar kelas sambil berteriak
kegirangan. Meja dan kursi pun jadi berantakan karena ditabrak. Bahkan si Akbar
melompat keluar lewat jendela saking tidak sabarnya untuk pulang. Aku
memanggilnya berkali-kali tak digubris dan menghilang diantara kerumunan
teman-teman yang lain. Hal ini membuatku geram menahan emosi. Jujur saja
meskipun guru harus memiliki stok
kesabaran tetap merasa marah bila diperlakukan seperti itu oleh siswa.
Awan hitam menyelimuti pegunungan di atas sana suara deras hujan terdengar. Kulepas sepatu agar leluasa berlari berkejaran dengan derasnya hujan siang itu. Setelah ngos-ngosan berlari akhirnya sampai juga di jalan raya dengan rintik perlahan. Rupanya hujan deras hanya sampai di pinggir gunung saja. Kami akhirnya pulang dengan hati lega.
Keesokan harinya aku kembali berangkat ke sekolah.
Berjalan seperti biasa menapaki jalan setapak di tepian sungai. Kejadian
kemarin saat Akbar melompat lewat jendela masih terngiang dalam ingatanku. Aku
berniat membawanya ke ruang BP untuk memberi peringatan. Sesampainya di sekolah teman-teman sudah ada
yang datang lebih dahulu, sebagian sudah masuk mengisi jam pertama. Sebentar
lagi bel jam ke 3-4 akan berbunyi. Bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi
dan aku segera ke kelas.
“Assalamu’alaikum, anak-anak,” kataku memberi salam
“Wa’alaikumussalam, Bu Guru,” anak-anak menjawab
serempak
“Anak-anak, bagimana kabarnya hari ini?” tanyaku
membuka pembelajaran
“Baik, Bu Guru” serempak mereka menjawab.
Kuamati satu persatu siswaku memastikan siapa saja
yang tidak hadir. Rupanya hanya 2 orang yang tidak hadir. Dan di pojok kelas
kulihat Akbar duduk dengan tenang seolah tidak merasa bersalah dengan kejadian
kemarin. Kumulai pelajaran dengan melemparkan pertanyaan awal sebagai
apersepsi. Beberapa siswa menjawab meski malu-malu karena takut salah. Setelah
kulengkapi jawaban siswa kemudian lanjut dengan penjelasan singkat tentang
materi dan mulai menulis di papan tulis. Beberapa saat kemudian tiba-tiba
terdengar suara hentakan bangku disertai teriakan di dalam kelas dan beberapa
anak ikut tertawa membuat suasana kelas menjadi riuh. Aku berbalik badan mencoba
mencari tahu sumber suara.
“Ada apa?” tanyaku setelah menghentikan tulisan di
papan
“Ini Bu, Akbar tadi menarik bangku saat saya mau
duduk membuat saya jatuh,” suara Leni menyahut sambil meringis kesakitan.
Badannya yang gembul selalu menjadi bahan bulian teman-temannya.
“Akbar! kamu bikin ulah lagi di kelas, sudah
berulang kali Ibu larang kamu jangan usil saat pelajaran berlangsung!” kataku
menahan emosi. Muridku yang satu ini memang terkenal bandel. Sering sekali
membuat masalah.
“Tidak Bu, bukan saya,” jawabnya tidak mengakui
“Iya Bu, Akbar yang menarik bangkunya Leni,” kata
Faris memberanikan diri sementara yang lain tidak berani berbicara. Akbar
menatap tajam pada Faris seolah ingin mengancam.
Entahlah hukuman apa yang harus diberikan pada
siswaku yang satu ini. Berbagai cara dan hukuman sudah diberikan tapi tidak ada
efek jeranya. Kulihat Leni masih meringis kesakitan dengan wajah memerah
menahan malu.
“Ayo Akbar maju ke pojok kelas, berdiri dan angkat satu
kaki di sana,” kataku pada Akbar. Dia belum merespon panggilanku membuatku
semakin emosi.
“Ayo Akbar maju berdiri di depan sambil angkat satu
kaki,” Dengan nada keras aku memanggilnya sekali lagi. Kali ini benar-benar kesal
dibuatnya. Waktuku sudah tersita dengan kejadian ini. Dengan langkah
cengengesan dia berjalan dan berdiri di pojok kelas.
“Hari ini Ibu akan membawamu ke ruangan BP, sudah
dua kali kamu membuat masalah,” kataku mengingatkan
“Kemarin kamu melompat lewat jendela saat pulang,
Ibu panggil-panggil tidak menyahut dan hari ini kamu menarik kursi Leni hingga
membuatnya terjatuh,” kataku menjelaskan. Dia hanya tertunduk mendengarkanku.
“Sekarang kamu harus berdiri di pojok sampai Ibu
selesai mengajar,” kataku tegas. Meskipun hukumannya tidak efektif namun untuk
sementara cukup adil buat Leni.
Karena kejadian ini suasana kelasku menjadi gaduh sehingga
kegiatan diskusi hari ini molor. Kulanjutkan pelajaran dengan membagikan LKS
setelah memberi penjelasan singkat kepada siswa yang sudah membentuk kelompok.
Siswa-siswaku dengan cermat mengerjakan tugas yang kuberikan. Berjalan keliling
disetiap kelompok untuk memastikan kesulitan siswa sekaligus membimbing mereka.
Sesekali kulirik Akbar masih dengan ogah-ogahan menjalani hukumannya di pojok
kelas. Setelah jam pelajaranku selesai aku sendiri yang akan membawanya ke
ruang BP batinku. Sesaat kemudian bel tanda pergantian jam berbunyi sementara kegiatan
diskusi belum selesai. Aku menarik napas kecewa karena materi yang seharusnya
tuntas hari ini terpaksa dilanjutkan pada pertemuan berikutnya.
“Ya, anak-anak pelajaran hari ini sudah selesai, diskusi
dan presentasinya kita lanjutkan pada pertemuan selanjutnya ya,” ujarku mulai menutup pembelajaran
“Iya bu guru,” jawab mereka serentak
“Baiklah, ibu akhiri pertemuan hari ini sampai jumpa
pada pertemuan berikutnya, assalamu’alaikum” jawabku menutup pembelajaran.
“Wa’alaikumussalam, bu guru” jawab siswaku serentak.
Keluar dari kelas langsung menuju ruang BP bersama Akbar dan juga Leni. Kulaporkan
kejadian tadi pada Pak Warisah selaku guru BP. Setelah beberapa saat ditangani
oleh Pak Warisah akhirnya Akbar mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada
Leni dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Hatiku lega akhirnya permasalahan
bisa diselesaikan. Semoga Akbar bisa menepati janjinya untuk tidak nakal lagi.
Siang yang terik dan bel pulang pun berbunyi. Berjalan
diantara kerikil-kerikil yang seolah bosan kulewati. Bosan karena hanya akulah
yang melewatinya dengan berjalan kaki setiap hari. Ah, biarlah toh nanti
kerikil-kerikil ini akan menjadi saksi pengabdianku. Siang yang terik ini juga tak mematahkan
semangatku melaksanakan tugas. Meski dengan keringat bercucuran dan kelelahan
yang terpancar tetap saja kujalani tugasku. Hingga akhirnya aku yakin bahwa
pengabdianku akan berbuah pahala, pengabdianku akan terus dikenang oleh
siswa-siswaku, pengabdianku mencerdaskan anak bangsa akan terus bersinar
seperti matahari yang memancarkan semburat merah jingga di pagi hari.
Kembangkan lagi...ceritanya sudah bagus
BalasHapusKeren🥰
BalasHapusTerimakasih Mbak Mega...
HapusTerimakasih Mbak
BalasHapus