Si Butut

Si Butut

Sore yang mendung aku masih bertengger manis di rak sepatu pojok teras rumah tuanku yang biasa di sapa Denis. Melelahkan setelah seharian menemani Denis yang ikut lomba. Badanku rasanya masih pegal-pegal ingin istirahat. Denis menghampiri kemudian memandangku sekilas dengan wajah yang sulit kutebak. Kulihat Denis duduk termenung. Bimbang itulah yang kutemukan diwajahnya. Perlahan ia bangun dan membuka rak sepatu dan tangannya menjulur ke arahku. 

“Eit, sebentar. Denis akan membawaku ke mana ya?” batinku.

Belum hilang rasa heran tiba-tiba dengan cekatan Denis mengikatkan kedua tali dibadanku. Berjalan keluar halaman entah ke mana tempat dituju. Tubuhku terayun-ayun dengan keras membuatku pusing. Langkah kaki Denis berhenti tepat di pinggir sungai.

Kemudian,

“Aaarrrgh,” teriakku.

Buughhh. Tubuhku terlempar jatuh menggelinding di tanah yang menjorok ke bawah. Aku menoleh melihat Denis diatas sana berbalik badan dan meninggalkanku. Kutarik nafas sambil melihat sekeliling rupanya ini tempat pembuangan sampah.

“Kenapa Denis membawaku ke sini?” tanyaku dalam hati.

Gerimis yang perlahan menjadi hujan. Aku semakin panik.

“Tidak! Aku tidak mau kehujanan di sini sendirian.” batinku

“Hei, ada orang di sana?” teriakku. Tidak ada sahutan.

“Hei, apakah ada orang di sana?” kali ini teriakanku lebih kencang.

“Hei, jangan teriak-teriak! Bising,” botol minuman disampingku bersuara

“Syukurlah, kupikir aku sendirian di sini,” sahutku bernafas lega

“Baru saja sebentar kamu di sini sudah membuat keributan,” potongan kayu ikut bersuara.

“Iya, soalnya aku tidak biasa di tempat seperti ini,” kataku dengan nada pilu

“Apakah tuanmu membuangmu di sini?” botol minuman bertanya

“Tidak, dia hanya meninggalkanku sebentar, mungkin akan kembali menjemputku,” kataku penuh harap

“Jangan menghibur diri, biasanya kalau sudah berada di sini tidak ada yang datang menjemput kecuali pemulung, itu pun kalau kamu masih bermanfaat.” jawab potongan kayu.

Aku tertegun mendengar ucapan potongan kayu. Apakah benar Denis sudah membuangku? Apakah sudah bosan denganku? Atau kecewa karena kalah dalam lomba kemarin? Aku semakin sedih mengingat kebersamaanku dengan Denis. Begitu cepatnya Denis mencampakkanku Padahal aku selalu menemaninya kemanapun dia pergi. 

Tiba-tiba terdengar gemuruh air sungai diiringi suara petir menggelegar membuyarkan lamunanku. Tubuhku sudah tergenang di air sungai. Kulihat teman-temanku yang lain juga begitu.

“Ah tidak! Aku tidak mau terseret arus, aku harus menepi!” kataku.

Dengan sekuat tenaga aku menyangkutkan diriku di akar pohon pinggir sungai tapi gagal. Aku terbawa arus, aku tidak tahu sudah berapa lama terseret. Badan rasanya sudah tidak berbentuk, sampah-sampah kecil mengerubutiku seperti semut saja.

“Syukurlah akhirnya aku bisa menepi,” batinku dalam hati

“Tapi ini di mana?” tanyaku. Kupandangi di sekeliling, akubtidak mengenal tempat ini. Setelah 

beberapa saat dari jauh kulihat seorang bocah pemulung berusia sekitar 10 tahun menghampiri. Dia berhenti tepat didepanku. Tangannya menyentuh dan menimbang-nimbang tubuhku. Kemudian kulihat dia tersenyum.

“Hmmm. Meskipun butut tapi masih layak untuk dipakai,” kudengar dia bergumam.

Dia memasukkanku dalam karung dipunggungnya. Setelah itu aku merasakan badanku dibawa pergi. Sesampai di gubuk seorang perempuan setengah baya menyambutnya.

“Kamu mulung lagi pagi ini, Hafidz?” tanya perempuan itu

“Iya Mak, tapi Hafidz menemukan sepatu butut yang dibawa arus sungai semalam.” katanya

“Coba Mak lihat,” lagi perempuan itu bersuaranya

“Ini Mak,” menyerahkanku dengan wajah ceria

“Wah, masih layak dipakai meski butut Fidz,” katanya

“Iya Mak, sepertinya cocok denganku,” katanya penuh semangat

“Cepatlah bersihkan biar cepat kering dan dipakai ke sekolah besok,” perintah ibunya.

Tanpa menjawab ibunya bocah itu langsung menuju sumur di belakang gubuk. Dengan sepenuh hati dia membersihkanku. Aku pun sangat senang setidaknya aku tidak kedinginan di luar sana. Hafidz pasti akan menyayangiku dengan sepenuh hati. Dan aku berjanji akan selalu menemaninya kemanapun dia pergi karena dialah yang lebih membutuhkanku.

Komentar

Posting Komentar

Harap memberikan komentar dengan bahasa yang baik dan jangan lupa budayakan membaca sebelum bertanya. Terimakasih.

Postingan populer dari blog ini

PUISI PATIDUSA

SEMBURAT MERAH JINGGA